Job Career Vacancy
Latest News

REVIEW BUKU BAB 6 MANAJEMEN PELAYANAN UMUM (PENULIS : DRS. H.A.S. MOENIR)

Posted by Gilang Ramadhan on Selasa, 17 November 2009 , under | komentar (0)



1. Aktivitas Manajemen Pelayanan
Aktivitas adalah usaha atau proses dengan menggunakan keahlian dan teknik yang dapat mengubah bahan menjadi sesuatu, baik dalam wujud barang maupun jasa yang bermanfaat. Apa bila dihubungkan dengan manajemen pelayanan maka dapat diartikan suatu aktivitas yang dilakukan oleh manajemen yang mampu mengubah rencana menjadi kenyataan, apakah rencana itu berupa rencana produksi atau rencana dalam bentuk sikap dan perbuatan.
Aktivitas manajemen diantaranya adalah:
a. Aktivitas menetapkan sasaran (objectives) dalam rangka pencapaian tujuan organisasi
Tujuan tujuan organisasi seringkali bersifat ideal dalam arti tidak dalam bentuk nyata dan sulit dilukiskan seperti apa.dalam tujuan (goal) termasuk maksud (purpose), misi (mission), dan sasaran (objectives). Masksud (purpose) organisasi artinya untuk maksud apa organisasi tersebut didirikan. Ditinjau dari segi teori organisasi secara umum maksud pembentukan organisasi ialah tidak lepas dari:
1. Organisasi dimaksudkan sebagai wadah kerja sama orang-orang yang mempunyai kepentingan tertentu, menyatukan kepentingan-kepentingan pribadinya menjadi kepentingan bersama. Karenanya dalam organisasi harus ada pembagian tugas sehingga ada keserasian tugas.
2. Organisasi dimaksudkan sebagai alat mencapai tujuan bersama, yang tujuan itu tidak mungkin dapat dicapai sendiri-sendiri.
3. Organisasi dimaksudkan sebagai suatu sistem dengan sifat-sifat sistem yang ada.
b. Menetapkan cara yang tepat
Mengenai teknik pencapaian tujuan ada beberapa teknik manajemen yang perlu diketahui, antara lain:
1. Manajemen dengan sasaran (management by objectives=MBO), teknik ini menggunakan pendekatan pada sasaran organisasi yang dijabarkan lebih lanjut menjadi sasaran unit kerja yang paling kecil.
2. Manajemen hasil (management by result=MBR), teknik manajemen hasil, sesungguhnya memiliki prinsip yang sama dengan teknik MBO, hanya bedanya di sini jelas-jelas pendekatannya kepada hasil (result) dari organisasi yang sudah dapat diukur.
3. Manajemen dengan sistem (management by system=MBS), teknik ini menggunakan pendekatan pada teori sistem yang diberlakukan dengan lengkap di seluruh jajaran/ unit organisasi, mekanisme organisasi dapat berjalan sesuai dengan dinamika suatu sistem dan bersamaan dengan itu manajemen mandorong dan mengamati mekanisme itu agar mengarah pada sasaran.
4. Manajemen dengan motivasi (management by motivation=MBM) teknik MBM mendasarkan pendekatan utama pada pencapaian sasaran melalui sistem motivasi. Motivasi baik materil maupun non materil sebagai alat perangsang ativitas yang bersifat tetap.
5. Teknik manajemen dengan pengecualian (management by exception=MBE), pendekatan yang dipakai teknik MBE ialah dalam pengelolaan organisasi selalu ada hal-hal yang secara strategis tidak dilimpahkan pada orang lain dan tetap berada di tangan pimpinan organisasi, walaupun memungkinkan adanya pelimpahan wewenang.
c. Melaksanakan pekerjaan, menyelesaikan masalah
Dalam pelaksanaan kegiatan hal penting yang harus diperhatikan ialah bahwa manajemen harus senantiasa siap memecahkan setiap masalah yang timbul dan sekaligus memutuskan. Ini merupakan kegiatan kunci manajemen pada segala tingkat.
Berdasarkan tingkat-tingkat manajemen, pemecahan masalah dan pengambilan keputusan:
- Bersifat strategis konsepsional, ditangani dan dilakukan oleh manajemen tingkat atas. Misalnya mengenai pengembangan organisasi, kebijaksanaan jangka panjang mengenai personal,keuangan, produksi dan pemasaran.
- Bersifat taktis operasional, ditangani dan dilakukan oleh manajemen tingkat menengah. Yaitu mengenai kebijaksanaan jangka menengah, pengelolaan personal, keuangan, peralatan, bahan; cara-cara pelaksanaan yang efektif dan efisien.
- Bersifat teknis operasional, ditangani dan dilakukan oleh manajemen tingkat bawah (supervisery management, first line management). Misalnya mengenai pengaturan tugas personal, pembelanjaan, penggunaan peralatan dan mesin, penggunaan perlengkapan; mengatasi masalah yang timbul dalam pelaksanaan pekerjaan secara teknis di “lapangan”.
d. Mengendalikan kegiatan/proses pelayanan
Pengendalian dapat dipahami berbeda dengan pengawasan, meskipun keduanya masuk dalam jaringan kegiatan manajemen. Perbedaan itu terletak pada unsur tanggung jawab. Pada pengendalian unsur ini jelas kelihatan sehingga pengendalian menjadi dinamis, disamping unsur-unsur tujuan, rencana, kegiatan, dan standar.
Sistem pengendalian oleh manajemen yang efektif memungkinkan tugas/pekerjaan berjalan lancar dan menghasilkan sesuatu yang memenuhi persyaratan kualitas dan kuantitas. Pengendalian harus dilakukan karena adanya kecenderungan manusia berbuat kesalahan tanpa unsur kesengajaan, di samping ada juga kecenderungan disertai unsur kesengajaan yang bermotif keuntungan pribadi dengan melakukan pelanggaran dan penyimpangan.

e. Mengevaluasi pelaksanaan tugas/pekerjaan
Hal-hal yang perlu dievaluasi dalam penyelenggaraan pelayanan umum adalah:
1. Evaluasi pelaksanaan kegiatan dan hasilnya
Evaluasi mengenai kegiatan pelayanan selain dilakukan melalui sistem laporan dan pengamatan di lapangan, juga perlu dicek dengan pertanyaan:
a. Apakah kegiatan administrasi dan pelayanan itu sudah dapat memenuhi keinginan manajemen dalam rangka pencapaian sasaran?
b. Spsksh pelaksanaan kegiatan itu sudah lancar dan memuaskan pihak yang bersangkutan?
c. Bagaimana pendapat pihak-pihak yang memperoleh layanan administratif dan pelayanan itu?
Semua jawaban dikembalikan kepada standar yang telah ditetapkan, baik standar tertulis dalam bentuk SOP, pedoman, norma dan budaya positif yang hidup dalam organisasi.
Pada umumnya ketidakpuasan orang-orang terhadap pelaksanaan pelayanan tertuju pada:
a. Ada dugaan terjadi penyimpangan dalam pelaksanaan (pemutarbalikan urutan, pengurangan hak)
b. Adanya sikap dan tingkah laku dalam pelaksanaan tugas/ pekerjaan yang dirasa tidak sesuai dengan budaya bangsa Indonesia yang berfalsafah pancasila dangan jabarannya dalam P-4
c. Kurang adanya disiplin pada petugas terhadap jadwal atau waktu yang telah ditentukan
d. Penyelesaian masalah yang berlarut-larut, tidak ada kepastian kapan akan selesai
e. Ada kelalaian dalam penggunaan bahan, pengerjaan barang, tidak sesuai dengan permintaan atau standar
f. Produk yang dihasilkan kurang/tidak memenuhi standar, atau yang telah disepakati bersama
g. Aturan itu sendiri dianggap menyulitkan, memberatkan atau dirasa mengurangi/mengabaikan hak mereka
h. Tidak ada tanggapan yang layak terhadap keluhan yang telah disampaikan.
2. Evaluasi sikap dan tingkah laku
Organisasi tumbuh dan berkembang dengan membawa ciri-ciri tersendiri yang dibentuk selama dalam pertumbuhan. Ciri-ciri itu biasanya terlihat pada aturan mengenai sikap dan tingkah laku, apa yang harus diperbuat dan apa yang tidak boleh diperbuat, atau dapat juga diketahui dari doktrin yang ada dan hidup dalam organisasi yang bersangkutan, sumpah atau janji yang diucapkan pada saat diangkat sebagai pegawai/pejabat.
Hal-hal di atas yang diharapkan dapat menjadi budaya organisasi. Dengan adanya budaya organisasi diharapkan tingkah laku anggotannya harus sesuai dengannya, dan semua nilai dalam bersikap dan bertingkah laku dikembalikan kepada budaya organisasi.

2. Penyelenggara Manajemen Pelayanan
Pelayanan adalah suatu proses, karena itu obyek utama manajemen pelayanan adalah proses itu sendiri. Setiap proses mempunyai empat unsur: 1). Maksud tujuan, 2). Sistem/prosedur, 3). Kegiatan dan, 4).Pelaksana. dalam hal pelayanan sebagai suatu proses, unsur proses layanan dipersempit menjadi: 1). Tugas layanan, 2). Prosedur layanan, 3). Kegiatan layanan, 4). Pelaksana layanan.
a. Penanggung jawab fungsi layanan
Penanggung jawab fungsi layanan umum di Negara Republik Indonesia adalah pemerintah, selaku badan eksekutif yang menjalankan pemerintahan sehari-hari, berdasarkan UUD 45 dan UU yang berlaku.

b. Pelaku layanan umum
Pelaku layanan yang utama, dalam hal ini layanan sebagai salah satu fungsi dari pemerintah dalam rangka penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan dilaksanakan oleh korps Pegawai Negeri Republik Indonesia.sejalan dengan sistem penyelenggaraan Administrasi Pemerintahan yang memberikan keleluasaan kepada badan hukum lain ikut menyelenggarakan sebagian tugas pemerintah di bagian ekonomi, sosial dan budaya.
Dengan demikian pelaku layanan umum bukan hanya pegawai negeri, tetapi juga pegawai/karyawan BUMN/BUMD, pegawai/karyawan Badan Hukum/Perusahaan swasta, baik yang produknya berupa jasa atau barang.

3. Bentuk Layanan
Layanan umum yang dilakukan oleh siapapun, bentuknya tidak terlepas dari tiga macam, yaitu:
1. Layanan dengan lisan
Layanan dengan lisan dilakukan oleh petugas-petugas di bidang hubungan masyarakat (HUMAS), bidang layanan informasi dan bidang-bidang lain yang tugasnya memberikan penjelasan atau keterangan kepada siapapun yang memerlukan.
2. Layanan melalui tulisan
Layanan melalui tulisan terdiri atas dua golongan, pertama layanan berupa petunjuk, informasi dan yang sejenis ditujukan pada orang-orang yang berkepentingan dengan instansi atau lembaga; kedua, layanan berupa reaksi tertulis atas permohonan, laporan, keluhan, pemberian/penyerahan, pemberitahuan dan lain sebagainya.
3. Layanan berbentuk perbuatan
Layanan dalam bentuk perbuatan sebenarnya tidak terhindar juga dari layanan dalam bentuk lisan, karena terjadi interaksi terhadap penerima layanan, tidak seperti layanan tulisan yang mungkin jauh dari yang mendapatkan layanan, namun layanan dalam bentuk perbuatan yang ditunggu atau yang menjadi titik berat adalah hasil dari perbuatannya dan bukan sekedar informasi.

4. Sasaran
Sasaran Manajemen Pelayanan Umum sederhana saja, yaitu kepuasan. Mengenai kepuasan sebagai sasaran utama manajemen pelayanan, di dalamnya terdapat dua komponen besar yaitu komponen layanan dan produk (dalam hal ini hak).
a. Layanan
Agar layanan dapat memuaskan maka ada empat persyaratan pokok yang harus dipenuhi, yaitu: a) tingkah laku yang sopan, b) cara menyampaikan sesuatu yang berkaitan dengan apa yang seharusnya diterima oleh orang yang bersangkutan, c) waktu menyampaikan yang tepat, d) keramahtamahan.
b. Produk
Produk yang dimaksud dalam hubungan dengan sasaran manajemen pelayanan yaitu kepuasan yang dapat berbentuk: a) barang, b) jasa, c) surat-surat berharga.

Mengatasi Kendala Masyarakat Informasi Dengan Kerjasama Internasional

Posted by Gilang Ramadhan on , under | komentar (0)



Untuk menjadi masyarakat informasi Indonesia memang harus sudah dipersiapkan dan dibentuk. Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang begitu cepat memang sudah dinikmati oleh masyarakat Indonesia, akan tetapi kesadaran masyarakat akan informasi yang akurat masing kurang. Teknologi Informasi, terutama komputer, memang sudah mulai dibutuhkan dan dirasakan merupakan kebutuhan yang tak bisa ditawar lagi, terutama oleh para intelektual, pelajar, para profesional dan kalangan bisnis. Tetapi bagi masyarakat kelas bawah, hal tersebut masih bisa dianggap mewah. Walaupun pengembangan system informasi untuk pemerintah pusat dan daerah terus dikembangkan, tapi masih banyak pemerintah daerah belum berminat membangun atau menggunakan untuk kepentingannya.
Untuk mengetahui seberapa cepat pertumbuhan dalam menuju masyarakat informasi perlu dilakukan pengukuran. Sehingga dapat diketahui kondisi dan kemampuan dari masyarakat dalam menggunakan teknologi informasi dan komunikasi untuk medukung kegiatan sehari-harinya. Hasil pengukuran ini dapat digunakan untuk menghilangkan kendala-kendala yang menghambat pertumbuhan masyarakat informasi.
Untuk mengatasi kendala dalam mewujudkan masyarakat informasi, diantaranya perlu dilakukan suatu penentuan tolak ukur tentang apa yang disebut sebagai masyarakat informasi, diantaranya adalah denganadanya kerjasama pemerintah dengan organisasi IT dunia ITU (International Tellecomunication Union) yang terwujud dalam:
- ‘Tunis Commitment’ sebagai payung politik para kepala negara dalam mewujudkan masyarakat informasi,
- ‘ Tunis Agenda for Action’ sebagai rencana bentuk operasional untuk mewujudkan masyarakat informasi yang meliputi Financial Mechanism, Internet Governancedan Implementation serta Follow-Up.
Setelah terbukanya kerjasama dengan organisasi IT Internasional maka untuk mengatasi kendala masyarakat informasi adalah dengan mengukur seberapa jauh adanya suatu kesenjangan informasi pada suatu masyarakat atau disebut dengan peluang digital.
Telah dinyatakan pada WSIS I dan II, yang bertujuan untuk memperkecil kesenjangan digital diantara negara-negara di dunia. Beberapa indicator telah dikembangkan dalam rangka untuk mengetahui seberapa besar penerapan teknologi informasi dan komunikasi di suatu negara, sehingga dapat dilihat tingkat ketertinggalan negara tersebut bila dibandingkan negara-negara lainnya. Dari beberapa indicator seperti yang tertera pada table tersebut WSIS (Agenda Tunis) mengesahkan dua indeks yang digunakan untuk melakukan evaluasi, yaitu : ICT Opportunity Index (ICT-OI) dan Digital Opportunity Index (DOI).
Setelah permasalahan dipelajari, maka akan diberikan DOI (Digital Opportunity Index), Peranan DOI dalam mengantisipasi perkembangan teknologi informasi dan komunkasi sangat relevan, karena indeks ini mencakup inovasi dan memberi harapan bagi teknologi baru seperti ‘broadband’ dan ‘mobile internet’. Indeks ini juga dapat digunakan untuk mengkaji pertumbuhan dan mempelajari teknologi informasi dan komunikasi yang baru. DOI selalu melihat kedepan mengenai perkembangan dari teknologi informasi dan komunikasi dari suatu negara.
Masyarakat informasi tidak akan pernah terwujud tanpa adanya komponen pendukung yakni adanya:
Peluang.
Akses dan kemampuan untuk mendapatkan pelayanan teknologi informasi dan komunikasi merupakan suatu ukuran peluang dari masyarakat informasi. Dua hal tersebut yaitu akses dan kemampuan, merupakan suatu peluang dasar untuk program pengembangan menuju ke tingkat yang lebih tinggi untuk melakukan akses teknologi informasi dan komunikasi.
Akses.
Dimaksud dengan peluang untuk akses disini adalah untuk dapat menggunakan saluran telepon tetap (Fixed Telephone Line) dan atau telepon seluler (Mobile Cellular Telephone). Secara historical, pengukuran akses ke komunikasi universal untuk penggunaan saluran telepon tetap didasarkan pada keputusan yang sifatnya subyektif. Dengan mempertimbangkan pada keadaan dari pelakunya, maka bagaimana peluang akses ke telepon tetap dapat diperoleh yaitu dengan melihat jarak dan waktu. Misalnya mengenai jarak, kebijakan akses universal hanya diberikan kepada penduduk yang berada sekitar dua kilometer. Orang melihat jarak dua kilometer akan berbeda, bergantung pada kondisinya, dianggap dekat bila itu untuk orang yang sehat dan masih muda dan sebaliknya jauh untuk yang tua dan tidak sehat. Waktu juga sifatnya relative, karena bergantung dengan moda transportasi yang digunakan untuk mencapai tempat telepon tetap berada.
Infrastruktur.
Pada kategori ini mencakup indikator akan jaringan (network) seperti proporsi dari rumah tangga dengan telepon tetap, pengguna telepon bergerak tiap 100 penduduk, proporsi dari rumah tangga yang menggunakan internet (akses internet) dirumah dan pengguna ‘mobile internet’ per 100 penduduk. Kategori ini juga termasuk peralatan yang menyediakan ‘interface’ antara pemakai dengan jaringan, disini direpresentasikan oleh proporsi rumah tangga dengan komputer.
Utilitas.
Utilitas menampilkan perluasan penggunaan TIK dan termasuk proporsi dari individu yang menggunakan internet. Beberapa tahun yang lalu masyarakat mengenal telekomunikasi identik dengan layanan telepon (voice), dengan kemajuan teknologi yang begitu cepat, telekomunikasi tidak hanya untuk suara saja juga data dan yang lainnya. Dan seiring dengan perkembangan teknologi dan kebutuhan pelanggan, maka sudah mengarah ke layanan data broadband. Usaha untuk meningkatkan kualitas pelayanan ini juga memberikan pengaruh pada peningkatan untuk akses pada tingkat fungsionalitas yang tinggi. Tingkat fungsionalitas ini mencakup pelayanan seperti ‘video streaming’ dan aplikasi lain yan diinginkan oleh masyarakat informasi seperti ‘telemedicine’, e-governmet dan e-learning. Penggunaan layanan broadband yang terus meningkat dapat terlihat, pada akhir-akhir ini pertumbuhan trafik data terus meningkat secara signifikan. Penggunanya pun meliputi perusahaan maupun individu yang melakukan proses bisnis dan transaksi secara online.

Kepemimpinan ekonomi yang kokoh dalam konteks global dan lokal (GLOKALISME)

Posted by Gilang Ramadhan on , under | komentar (0)




Negara yang besar adalah Negara yang berkebudayaan, dan kebudayaan bersifat netral yang berarti tidak ada kebudayaan yang menjadi superior dari kebudayaan lainnya. Indonesia memiliki kebudayaan yang beragam, termasuk kebudayaan dalam mengolah hasil kekayaan alam, yaitu budaya jujur dan saling gotongroyong serta bertanggung jawab(dahulu dikenal sebagai ekonomi koperasi yang berasaskan kekeluargaan). Di era kekinian kebudayaan seperti itu sulit sekali ditemukan pada bangsa Indonesia. Karena bangsa indonesiasudah dipengaruhi isme-isme global tanpa menyaring terlebih dahulu baik dan tidaknya, kita mengenal dalam konteks liberal yang berasal dari kata liebe yang berarti bebas, bebas di sini berarti bekerja tanpa adanya tekanan, baik kepentingan maupun persoalan pribadi, bebas tersebut melahirkan konsekuensi akuntabilitas pada hasil kerja,karena di sini dituntut produktifitas kerja personal serta tidak mengandalkan orang lain/berpangku tangan. lalu kita mengenal paham sosialis yang menekankan pada persamaan, kebersamaan dalam kepemilikan dan peran pemerintah yang kuat untuk menjaga stabilitas ekonomi Negara, yang berpengaruh pada seimbangnya ekonomi makro pada Negara serta ketahanan ekonomi yang kuat, serta paham-paham lain yang berkembang di dunia.
Konteks Glokalisme berarti belajar dari pergaulan global bagaimana caranya Negara-negara di dunia dalam memajukan perekonomiannya serta tidak melupakan kearifan lokal sebagai bentuk ketahanan pribadi (self divence)dari pengaruh buruk global. Kepemimpinan ekonomi yang ideal adalah pemimpin yang dapat memadukan unsur-unsur yang penting dan baik dalam dua mainstream tersebut, serta tegas dalam membatasi hal-hal yang kurang baik dari keduanya. Konsekuensinya adalah kepemimpinan yang nasionalis dan tidak rela untuk menggadaikan kekayaan Negara kepada investor asing, memiliki kepekaan terhadap potensi yang dimiliki oleh Negara (SDM dan SDA) yang dilandasi oleh kejujuran serta rasa bertanggung jawab dalam mengolahnya, karena sesungguhnya tak ada Negara yang maju karena hanya mengandalkan kekayaan alam yang dimilikinya, di sini nilai kejujuran menjadi sangat penting sebagai bentuk responsibility to accountability, lalu dipadukan dengan keefektifitasan kerja yang dikenalkan oleh F. Taylor, yang dikenal sebagai the principles of scientific management serta teori-teori lain yang mengutamakan peningkatan pada hasil kerja yang berkembang di dunia serta memiliki kemauan dan niat yang kuat untuk berbakti pada negara yang melandasi oleh pola kepemimpinannya.
Ekonomi adalah bagaimana caranya mengatur potensi yang jumlahnya terbatas dan tidak terbatas, kepemimpinan yang baik adalah mempunyai prioritas utama dalam bekerja, mendistribusikan potensi yang bersifat terbatas lebih diutamakan agar tidak terjadi kekacauan menjadi prioritas utama serta pandai dalam mengatur potensi yang tidak terbatas agar dapat dimanfaatkan semaksimal mungkin.
Inti dari tulisan ini adalah kepemimpinan ekonomi yang baik adalah pemimpin yang memiliki karakter kebangsaan yang kuat serta memiliki kecakapan dalam memadukan antara kearifan lokal termasuk potensi-potensi positif yang terdapat di dalamnya serta memiliki kapabilitas dalam memadukannya dengan paham-paham yang berkembang di dunia.

Proses Menuju Negara Federal, Bergulirkah?

Posted by Gilang Ramadhan on , under | komentar (0)




Ahmad Mujahid Darlan dalam tulisannya yang berjudul “Relevankah Federalisme di Indonesia lebih menekankan pada pokok pikirannya, ia lebih mengeksplorasi gagasan tentang Negara federal dari dirinya sendiri, menurut saya hal-hal yang dikemukakan Ahmad dalam tulisannya lebih bersifat doktrin tentang Negara kesatuan yang “mustahil” untuk dirubah. Ada ungkapan dari ahmad yang menurut saya sangat menarik, yaitu pernyataan beliau bahwa Golkar pada saat itu hanyalah sebagai kendaraan politik yang ditunggangi peguasa saat orde baru, jadi Golkar bukanlah yang seharusnya disalahkan atas masa kelam orde baru. Jika diperhatikan golkar memanglah hanya sebuah organisasi, dalam artian hanya sebuah benda mati tanpa ada inisiator dan penggeraknya, tetapi kenyataannya disadari atau tidak Golkar memang menikmati hasil dari orde baru, kita lihat dari kenyataan bahwa Golkar memiliki dana operasional yang paling basar dibanding parpol lainnya. Jadi menurut saya adanya dikotomi antara Golkar orde baru dengan pasca reformasi merupakan pendapat dari Ahmad yang salah.
Lebih lanjut Ahmad Mujahid melihat sejarah tentang konsep Negara federal yang diterapkan Indonesia pada tahun 1949 sebagai suatu kesalahan dan amat bodoh apabila hal itu diulang lagi, padahal lebih dalam lagi pada masa itu para “founding father” Negara kita sengaja membentuk Negara federal hanya untuk mendapatkan pengakuan dari belanda atas kedaulatan Indonesia, jadi hanya merupakan sebuah batu loncatan dan bukan sebuah niat yang serius untuk belajar “try and error” dari sebuah bentuk Negara, jadi wajar apabila penerapan Negara federal pada saat itu tidak berhasil.
Sebenanya apabila dilihat dari sejarah pembentukannya antara Negara federal dengan Negara kesatuan. Negara federal berangkat dari satu asumsi dasar bahwa ia dibentuk oleh sejumlah Negara atau wilayah independen, yang sejak awal memiliki kedaulatan atau semacam kedaulatan pada dirinya masing-masing Negara atau wilayah-wilayah itu yang kemudian bersepakat membentuk sebuah federal. Negara dan wilayah pendiri federasi tersebut kemudian berganti status menjadi Negara bagian atau wilayah administrasi dengan nama tertentu dalam lingkungan federal.
Dalam model Negara kesatuan, asumsi dasarnya berbeda secara diametrik dari Negara federal. Formasi Negara kesatuan dideklarasikan saat kemerdekaan oleh para pendiri Negara dengan mengklaim seluruh wilayahnya sebagai bagian dari satu Negara, karena diasumsikan bahwa semua wilayah yang termasuk di wilayahnya bukanlah bagian-bagian wilayah yang bersifat independen. Kemudian baru negaralah yang membentuk wilayah-wilayahnya sendiri.
Dari sejarah pembentukan Negara federal dan Negara kesatuan di atas, secara tegas Indonesia merupakan Negara kesatuan yang mutlak dari awalnya, karena Indonesia terbentuk dari proklamasi yang mengklaim seluruh wilayah nusantara sebagai wilayah dari NKRI, kemudian setelah itu barulah dibentuk wilayah-wilayah administratif yang terintegrasi dalam suatu Negara kesatuan, namun tidak sesingkat itu dalam melihat sejarah bangsa ini, menurut Ahmad Mujahid dalam tulisannya beliau melihat dari sejarah Indonesia bahwa sebelum Belanda datang ke Indonesia, Indonesia terdiri dari barbagai kerajaan yang diantaranya kerajaan Majapahit dan Sriwijaya yang memiliki wilayah yang bahkan lebih luas dari wilayah nusantara. Secara sempit Ahmad Mujahid memaknai wilayah kerajaan Majapahit dan Sriwijaya merupakan sebuah “Negara kesatuan”. Padahal sebenarnya wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Majapahit dan Sriwijaya saat itu tadinya merupakan kerajaan-kerajaan kecil yang ditaklukkan, dan kemudian mengakui bahwa kerajaan kecil tersebut masuk ke dalam wilayah otoritas Majapahit atau Sriwijaya, tetapi kerajaan-kerajaan kecil tersebut masih memiliki kedaulatan untuk menjalankan pemerintahannya sampai menjalankan urusan pertahanan dan keamanannya sendiri, serta hanya menyerahkan upeti kepada kerajaan pusat yakni majapahit dan Sriwijaya sebagai tanda takluk. Apabila ditelaah lagi, sebenarya konsep kerajaan pada masa itu sudah mencerminkan pemerintahan yang federalistik karena tidak ada undang-undang atau peraturan-peraturan yang secara tegas digariskan oleh kerajaan yang besar untuk mengatur wilayahnya yang terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil secara keseluruhan. Kerajaan-kerajaan kecil tersebut tetap memiliki peraturannya sendiri serta proses penghakimannya pun dilakukan di kerajaan kecil tersebut. Wujud persatuan kerajaan-kerajaan kecil tersebut ke dalam kerajaan besar yang berkuasa hanya sebatas upeti dan pengakuan secara lisan bahwa kerajaan kecil tersebut tunduk pada kerajaan besar yang berkuasa.
Berbeda dengan pandangan Ahmad Mujahid, Ni’matul Huda mengungkapkan dalam tulisannya yang berjudul “Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Pilihan atas Federalisme dan Negara Kesatuan” bahwa konsep Negara federal mungkin saja dapat diterapkan dalam Negara Indonesia, hanya saja pemikirannya tidak langsung tertuju pada Negara federal, tetapi bergulir sebagai pemenuhan kebutuhan. Menurutnya konsep desentralisasi yang memungkinkan otonomi pada daerah untuk melaksanakan pemerintahannya secara mandiri termasuk mengelola sumber daya alamnya sendiri dapat merendam untuk sementara hasrat untuk membuat Indonesia menjadi sebuah Negara federal. Selama ini munculnya wacana untuk mengganti bentuk Negara Indonesia menjadi Negara federal sebenarnya muncul karena adanya kesalahan orde baru yang membuat paradigma baru, bahwa Negara kesatuan merupakan Negara sentralstik yang otoriter. Harun Al Rasyid mengatakan bahwa munculnya gagasan Negara serikat dipicu oleh sentralisasi pemerintahan yang dianggap berlebihan, juga hubungan antara pusat dengan daerah yang tidak adil khususnya masalah pembagian kekayaan alam yang dimiliki oleh daerah. Hal penyelenggaraan Negara kesatuan yang bersifat sentralistik bertentangan dengan pengertian Negara kesatuan menurut C.F. Strong yang menganggap Negara kesatuan kekuasaannya terletak pada pemerintah pusat namun dapat dibagi kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah (desentralisasi).
Lahirnya UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang diamandemen menjadi UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dengan daerah menurut Ni’matul Huda merupakan angin penyegar yang dapat meredam gejolak pemikiran menuju Negara Indonesia yang federal. Menurutnya selama ini sebelum terbitnya UU tentang otonomi daerah, pelaksanaan otda selalu mendapatkan kendala 3P (personil,pembiayaan dan peralatan), pusat hanya menyerahkan urusan ke daerah sedangkan unsur pendukungnya (3P) tidak diserahkan kepada daerah sehingga menambah beban daerah. Kini pasca UU No.22 Tahun 1999 unsur-unsur 3P sepenuhnya diserahkan kepada daerah untuk mengelolanya, sehingga potensi daerah untuk maju tidak akan terhambat oleh pusat.
Saya sangat setuju akan pendapat Ni’matul Huda bahwa kita jangan dulu terburu-buru untuk mengubah bentuk Negara kita menjadi Negara federal, karena tentu saja partisipasi politik dari tiap-tiap daerah di Indonesia masih berbeda-beda dan cenderung rendah, serta pengalaman dan SDM yang masih belum memadai untuk menghadapi persaingan pada Negara federal. Anggap saja otda seluas-luasnya saat ini yang banyak pakar mengatakan sebagai “semi federal” sebagai training menuju demokratisasi Indonesia ke arah yang lebih baik untuk Indonesia yang lebih sejahtera.

Etnosentrisme, Pedang Bermata Dua

Posted by Gilang Ramadhan on , under | komentar (0)




Abdulkahar Badjuri dalam tulisannya yang berjudul “Otonomi Daerah dan Fenomena Etnosentrisme” lebih menekankan pendapatnya bahwa etnosentrisme merupakan suatu hal yang buruk dalam proses desentralisasi. Etnosentrisme menurutnya merupakan akibat dari desentralisasi, yang memungkinkan persaingan kepemimpinan di daerah yang tidak sehat, yang menimbulkan krisis keterwakilan, motivasi terhadap kepentingan pribadi, golongan, suku atau kelompok tertentu. Abdulkahar juga mengungkapkan bahaya dari desentralisasi yaitu etnosentrisme dapat menimbulkan isu-isu tidak sehat tentang putra daerah,pejabat pusat yang berbondong-bondong kembali ke daerah untuk membangun daerahnya,serta membunuh karakter seseorang yang mungkin lebih berpotensi dari putra daerah. Lanjutnya beliau juga menyatakan kebijakan tentang otonomi daerah merupakan kebijakan yang tergesa-gesa dan tidak berdasarkan pertimbangan yang matang.
Sebagai seorang pelajar, saya pun merasakan emosi yang sama dengan penulis tentang sikap pesimistis beliau akan desentralisasi yang baru diterapkan. Namun sebagai seorang akademisi yang baik seharusnya Abdulkahar menimbang sesuatu hal dari sisi baik dan buruknya, memang sudah banyak pakar yang mengatakan bahwa desentralisasi itu baik, namun sebagai bahan pertimbangan saya rasa hal positif pun harus dipertimbangkan juga. Etnosentrisme sebagai dampak atau lebih tepat dikatakan desentralisasi sebagai sarana tereksposnya etnosentrisme yang memang alami ada pada setiap daerah di belahan bumi mana pun memang terlihat buruk apabila dilihat dari segi arti yakni sebuah sikap yang lebih mementingkan kesukuan. Namun saya kurang setuju apabila dikatakan etnosentrisme itu buruk adanya. Apabila seseorang lebih mementingkan diri atau kepentingannya tentu orang tersebut tidak akan mengambil peluang yang kecil dari kepentingan yang besar, dalam artian apabila Abdulkahar mengatakan dengan adanya desentralisasi maka orang-orang daerah yang berada di pusat akan kembali ke daerahnya untuk membangun daerah. Lalu apa salahnya dengan membangun daerah sendiri? Lepas dari daerah kelahiran atau daerah tempat dibesarkan, saya lebih memfokuskan pada kata membangun daerah, karena hal ini yang tidak akan terjadi apabila pemerintahan dijalankan secara sentralisasi. Lalu apakah salah apabila daerah sendiri lebih didahulukan dari pada tidak ada skala prioritas di negara ini yang mana yang harus dibangun lebih dahulu?karena daerah itu jelas terintegrasi dengan negara secara luas. Membangun daerah berarti membangun bangsa, memajukan daerah berarti juga memajukan bangsa. Nasionalisme apa lagi yang dicari?
Lalu apabila ada dampak yang buruk yaitu munculnya salah kaprah seperti munculnya kata putra daerah saya pikir itu merupakan emosi rakyat daerah yang terakumulasi karena selama ini yang menjadi pemimpin di daerah merupakan orang yang berasal dari pusat dan bukan orang yang mengerti keadaan dan potensi di daerah tersebut yang akhirnya kepemimpinan di daerah hanya diisi oleh orang-orang yang hanya memikirkan dirinya dan upeti untuk pemerintah pusat, maka muncullah isu putra daerah dengan harapan orang yang berasal dari daerah dapat melihat kondisi di daerahnya dan lebih dapat memahaminya, walaupun hal ini masih dirasakan sangat utopis. Dan malahan masih banyak putra daerah yang tidak becus untuk memimpin daerahnya, namun saya rasa apabila ada kepemimpinan daerah yang dilandasi oleh rasa kesukuan,agama atau golongan tertentu yang kuat maka daerah tersebut akan maju, minimal pemimpin tersebut tidak memikirkan interesnya sendiri sehingga menimbulkan korupsi dan tak mau daerah tersebut diintimidasi oleh pemerintah pusat. Namun sekali lagi harus ditegaskan memajukan daerah yang bukan untuk memisahkan diri dari NKRI karena sekali lagi pemerintah pusatlah yang paling bertanggung jawab atas ini karena seharusnya daerah butuh keamanan dan ketentraman serta kestabilan daerah yang menyebabkan daerah tersebut tidak akan memisahkan diri dari NKRI.
Jadi dalam hal ini pemerintah daerah hanya memikirkan ekonomi daerahnya untuk mensejahterakan rakyat di daerahnya sedangkan pemerintah pusat berfungsi menjaga kestabilan ekonomi, ketentraman dan keamanan, dan saya rasa hal ini bukanlah utopis apabila seorang pemimpin tidak mempunyai interest yang besar terhadap dirinya sendiri.
Apabila merunut pada sejarah kebangkitan nasional, kita dapat menemukan bahwa Boedi Utomo terlahir sebagai organisasi pertama yang dianggap sebagai perintis dari bangkitnya negeri ini dari kegelapan, namun apakah Boedi Utomo benar-benar sebuah organisasi yang nasionalis? Boedi Utomo merupakan organisasi yang didirikan oleh Sutomo yang bersuku Jawa dan pada masa berjalannya pun organisasi ini hanya berkutat di pulau jawa dan sekitarnya, tidak menerima anggota dari suku lain, bersifat ekslusif serta memiliki visi memajukan suku Jawa. Namun kita perlu bertanya mengapa Boedi Oetomo dikatakan sebagai organisasi perintis kebangkitan bangsa? mengacu dari kenyataan tersebut seharusnya apabila ada paham etnosentrisme seharusnya tidak lantas dikatakan bahwa penganutnya tidak nasionalis atau bahkan membangun daerah sendiri itu perlu dilakukan bahkan didahulukan.
Perlu juga untuk dicurigai, suku Jawa dengan adanya desentralisasi mungkin akan kehilangan peluang untuk menguasai daerah-daerah lain di luar Jawa dengan adanya isu putra daerah karena selama ini suku Jawa merupakan pemegang rating teratas dalam memimpin sejumlah daerah-daerah di Indonesia bahkan di tingkat nasional, sehingga penulis dengan serta merta mengatakan bahwa isu putra daerah sangat tidak elegan dan menjerumuskan.
Etnosentrisme menurut saya merupakan pedang bermata dua yang dapat mengarah pada kebaikan atau pun kepada kerusakan. Jika kita bermain pada hal-hal yang berbau SARA tentu hal tersebut sangat rentan terhadap terjadinya konflik, tentunya konflik kepentingan, kepentingan apakah yang lebih kuat, pribadi, agama, ras, suku ataukah kelompok. Yang terburuk adalah kepentingan pribadi, karena kepentingan pribadi dapat merembet pada kepentingan-kepentingan lainnya. Kepentingan pribadi dapat berkedok SARA, kepentingan pribadi merupakan aktor intelektual yang bermain di atas penderitaan orang lain.
Peluang etnosentrisme dapat mengarah kepada hal yang buruk apabila ada kepentingan pribadi yang sedang bermain di dalamnya, dan dapat menjadi baik apabila atas dasar untuk memajukan suku, ras, atau agamanya. Jadi menurut saya tidak ada suatu hal yang selamanya buruk melainkan ada sisi positif apabila dilihat dari sisi lain dan tidak ada yang salah dengan desentralisasi selama tidak hanya menjadi das sein atau berupa teori saja melainkan dapat menjadi das sollen yang teraplikasi dengan pengawasan yang berjalan dengan baik. Untuk menjadi negara yang maju, try and error menjadi suatu hal yang lumrah, karenanya dalam perjalanannya otonomi daerah di indonesia juga perlu mengalami berbagai masukan dan revisi apabila perlu.
Perlu diperhatikan juga, Abdulkahar menulis artikel tersebut saat UU No.22 Th.1999 masih diterapkan, pada saat itu memang benar adanya bahwa desentralisasi dirasakan masih sangat prematur dengan beberapa kesalahan seperti DPRD yang sangat heavy karena berhak untuk memilih dan mengangkat pimpinan daerah, ketidakjelasan tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dengan daerah sehingga terjadi kerancuan mana yang menjadi hak pusat dan mana yang menjadi hak daerah,serta adanya kenyataan bahwa daerah masih belum siap dengan implementasi dari UU tersebut. Jadi jelas sekali beliau langsung mengkritisi kenyataan empiris yang terjadi sebagai buntut dari dikeluarkannya UU No.22 dan 25 Th.1999 yang masih prematur tersebut.

Desentralisasi di Indonesia, Sebuah Keterpaksaan?

Posted by Gilang Ramadhan on , under | komentar (0)




Dari pandangan Pratikno, seorang dosen dari Jurusan Ilmu pemerintahan FISIPOL UGM dari tulisannya yang berjudul “ Desentralisasi, Pilihan Yang Tidak Pernah Final ” mengungkapkan desentralisasi merupakan sebuah keterpaksaan, karena yang menelurkanya (pemerintah) pada masa itu mencoba meloloskan diri dari tekanan masyarakat dan tokoh politik yang sudah muak dengan pemerintahan gaya sentralistik orde baru. Saya sangat setuju dengan pendapat penulis yang mengungkapkan pemerintahan Habiebie sudah kehilangan sumber-sumber kekuasaan dan kewibawaan politik dari Soeharto sehingga dengan mudah dapat mengeluarkan UU No.22 Th.1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No.25 Th.1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, namun ada pendapat penulis yang saya kurang setuju yang seakan-akan menyatakan bahwa semua UU sebelum era reformasi itu substansinya buruk termasuk UU No.5 Th. 1974, padahal dalam UU tersebut sudah diperkenalkan konsep desentralisasi dan otonomi daerah hanya saja pada tataran aplikasinya benar-benar jauh arang dari api.
Pratikno dalam tulisannya tentang desentalisasi di Indonesia sangat mengedepankan pada argumennya yang menurut saya tajam tapi kurang menambahkan data dan fakta sehingga sangat sulit untuk menyandingkannya dengan fenomena apa yang sesungguhnya terjadi pada masa itu. Apabila berbicara tentang keburukan dari pemerintahan Orba dan Orla saya sangat setuju dengan pendapat beliau yang mengatakan bahwa Orba sangat sentralistik dalam menerapkan sistem pemerintahan dan keuangan daerah dan sangat jawa sentris sehingga timbul dikotomi antara Jawa dan luar Jawa dan menurutnya dua permasalahan tadi merupakan kelanjutan dari masalah yang pernah ada dan belum terselesaikan pada era Soekarno.
Namun saya kurang setuju pendapat beliau yang mengatakan bahwa permasalahan militer telah selesai pada masa orba, menurut saya permasalahan militer justru lebih pelik pada masa orba dimana pada era soekarno militer dapat dikendalikan di bawah panglima tertinggi yaitu soekarno dan memiliki loyalitas yang tinggi terhadap negara karena paradigma yang dibentuk militer saat itu adalah “bagaimana mempertahankan kedaulatan negara” yang timbul akibat panjangnya masa Indonesia dijajah oleh negara lain, sedangkan paradigma militeryang terbentuk pada masa orba yakni “bagaimana mencapai dan mempertahankan kekuasaan” karena penerapan sistem dwi fungsi ABRI yang melibatkan militer dengan kehidupan politik sehingga tugas mempertahankan negara justru malah terbengkalai, akibatnya loyalitas “semu” dari militer terhadap negara melahirkan bibit-bibit arogansi militer dalam struktur sosial di masyarakat. Militer secara strata sosial menganggap dirinya lebih tinggi dan lebih terhormat dari sipil, banyak kalangan militer yang menjadi pebisnis baik legal maupun illegal serta banyak dari kalangan petinggi militer yang lebih memilih duduk di kursi MPR daripada mengatur prajuritnya yang tentu saja membuat rakyat Indonesia semakin menjadi bulan-bulanan dari pemerintah tidak hanya di golongan elit politik sipil melainkan juga dari golongan elit politik militer.
Dalam pandangan saya, desentralisasi merupakan satu paket dari negara kesatuan, dalam pandangan C.F. Strong yang mengungkapkan bahwa negara kesatuan adalah bentuk negara dimana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat. Kekuasaan terletak pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah, dan pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada pemerintah daerah berdasarkan hak otonomi (desentralisasi). Jadi apabila ada pendapat yang menyatakan bahwa negara Indonesia pada masa pemerintaha orde lama dan orde baru tidak ada undang-undang yang mengatur tentang desentralisasi adalah salah, pada UU No.1 Th. 1957 dan UU No. 5 Th. 1974 semuanya terdapat pasal yang mengatur tentang desentralisasi. Hanya saja memang diakui pada kedua era tersebut penerapannya masih berpola sentralistik dan tentu saja inkonstitusional.
Namun perlu dipahami bahwa penerapan desentralisasi pada suatu negara juga merupakan sebuah kebutuhan dan tidak absolut harus diterapkan pada suatu negara. Saya paham sekali pada masa-masa awal pemerintahan Soekarno belum ada UU yang mengatur tentang desentralisasi sehingga UU tersebut baru lahir pada tahun 1957, karena pada masa itu negara indonesia merupakan negara yang baru merdeka dan sangat rentan sekali terjadinya disintegrasi bangsa, karenanya pencitraan pemerintahan nasional yang berwibawa sangat penting untuk meyakinkan daerah bahwa pemerintah yang berkuasa benar-benar layak untuk memimpin bangsa sehingga pola sentralistik saat itu dirasakan perlu, namun apabila niat yang melandasi lahirnya sentralistik mulai berorientasi untuk meraup sebesar-besarnya kekayaan daerah sudah menjadi buruk dan sangat menyalahi kaidah dari konsep negara kesatuan itu sendiri. Desentralisasi menjadi sangat fundamental apabila daerah sudah dapat mengembangkan potensinya sendiri sehingga otonomi daerah menjadi penting untuk dilaksanakan, apabila tidak dilaksanakan tentu saja dengan perlahan akan membunuh karakter kepemimpinan daerah, contohnya saja pada era reformasi sekarang yang sudah menerapkan pemilihan kepala daerah secara langsung, tidak sedikit kepala daerah yang notabene adalah putra daerah dan ditelurkan dari proses demokrasi yang tidak kompeten dalam memimpin daerahnya, tentu saja hal ini terjadi karena adanya ”cultural shock” dari penunjukan kepala daerah yang mendiskreditkan putra daerah menjadi pemilihan kepala daerah yang ”mengharuskan” putra daerah untuk maju walaupun ”tanpa persiapan” yang matang.
Pandangan pesimistik dari Pratikno sangat timbul pada pendapat beliau yang mengatakan bahwa tidak ada yang final dalam politik, seakan-akan menyiratkan politik merupakan hal yang sangat absurb dan tidak akan pernah selesai bahkan mungkin tidak memiliki tujuan yang jelas karena tidak final, padahal politik merupakan suatu proses yang melibatkan semua elemen bangsa yang bertujuan untuk menyejahterakan kehidupan bangsa dan negara, dan bukan untuk menyejahterakan kelompok dan kepentingan tertentu, selama politik masih digunakan untuk meraih kesejahteraan kelompok dan golongan tertentu, tentu saja dapat dipastikan bahwa pendapat dari penulis bahwa tidak ada yang final dalam politik adalah ’absolutely right’ dan benar adanya karena kebutuhan manusia tidaklah terbatas. Menurut saya politik dapat menjadi final apabila sudah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat banyak setidaknya memenuhi hukum Gossen 1 yang mengungkapkan bahwa kebutuhan apabila terpenuhi secara terus menerus maka indeks kepuasan akan mencapai titik nol kembali atau telah mencapai ’break event point’, dan itu tidaklah mustahil apabila kebijakan politik memiliki tujuan yang jelas dan bersifat final.

Gaya Kepemimpinan Baru Versus Status Quo Yang Didukung Rakyat

Posted by Gilang Ramadhan on , under | komentar (0)



Oleh: Gilang Ramadhan IP'05
Pembentukan Mental
Bangsa indonesia yang dijajah bangsa belanda selama ratusan tahun ternyata banyak menyisakan warisan-warisan yang “berharga” diantaranya adalah mental yang membentuk kepribadian bangsa ini. Dahulu bangsa belanda tidak memperbolehkan orang pribumi untuk bekerja kecuali kerja kasar dan mengenyam pendidikan yang layak, orang pribumi hanya diajari bagaimana caranya menjilat dan membuat senang pimpinan, kerja pun tak harus efektif asalkan laporan hasil kerja baik maka pekerjaan pun “dianggap” baik. Akhirnya sikap malas berusaha, hipokrit, dan mental buruk lainnya yang sampai sekarang masih menggerogoti kemajuan bangsa ini yaitu mental menyalahgunakan wewenang atau korupsi.
Peran Media
Saat ini rakyat indonesia sudah benar-benar dimanjakan oleh bebasnya media dalam mengeksplorasi berita, dalam hal ini secara tidak langsung mental di atas turut andil dalam membentuk opini publik. Media terus menerus mengekspos pemberitaan mengenai keadaan pak Harto sejak beliau sakit sampai beliau wafat. Pemberitaan yang disuguhkan media seakan-akan mengembalikan kembali kejayaan sang penguasa tersebut setelah hilang dari kancah politik sejak mei 1998,hampir seluruh stasiun TV menayangkan keadaannya bagai seorang yang kembali dari pertapaannya. Pemberitaan yang bertubi-tubi tersebut seakan telah menghilangkan secara perlahan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukan oleh beliau, akhirnya karena mental malas untuk mencari pembenaran ditambah romantisme yang berkepanjangan karena lamanya durasi kepemimpinan pak Harto lalu pemberitaan yang membombardir maka hilanglah segala yang pada masa reformasi telah diperjuangkan dengan darah.
Peran Pemegang Status quo
Mental bangsa indonesia yang termanifestasi di dalam pembentukan frame of reference dalam memahami suatu fenomena ditambah media kuranglah lengkap untuk membentuk suatu opini publik yang diinginkan, selanjutnya adalah dukungan dari pemegang status quo yang berkepentingan dalam menggiring mass opinion. Inilah kekuatan massif yang terlihat seakan-akan mengindividu, terlihat dari pertama seorang tokoh pemimpin fraksi suatu partai di DPR yang mengusulkan gelar pahlawan untuk pak Harto, kemudian setelah media mengarahkan wacana tersebut dan menggema di khalayak timbullah opini-opini lain yang sama dan menguatkan opini orang pertama tadi, maka kekuatan pemegang status quo tadi akan bertambah seiring dengan berjalannya waktu untuk mengulingkan kekuatan baru yang menginginkan pembaharuan.
Kemungkinan besar setelah semakin mendapatkan kekuatan opini publik ditambah menunggangi sosok seorang yang besar karena “diselamatkan oleh keadaan” maka kekuatan status quo tadi akan tetap ada dan memegang peranan penting dalam pemerintahan dan akan tetap selalu mengatur bahkan mengkounter kekuatan-kekuatan politik lain yang berusaha menampilkan gaya kepemimpinan baru yang mungkin berindikasi bisa merubah peradaban bangsa indonesia menuju ke arah yang lebih baik. Pak Harto adalah status quo yang telah tiada namun akan selau ada orang orang yang akan tetap mempertahankan status quonya untuk setidaknya tetap barada di pucuk pimpinan di dunia politik. Seharusnya pemerintah yang sekarang berkuasa merasa cemburu saat rakyat masih mendukung bahkan mencintai pemegang status quo, bahkan masih harus membenahi diri dan mempertanyakan apa yang kurang pada pemerintahannya dan mencoba untuk tampil lebih baik dari kepemimpinan sebelumnya, setidaknya memberikan sesuatu kenangan yang indah yaitu demokratisasi yang diiringi dengan pencerdasan pelakunya sehingga melahirkan kesadaran berpolitik yang tinggi dan menjadikan kearifan bangsa sebagai pangkal dalam kearifan berpolitik. Masih banyak pekerjaan rumah yang harus dilakukan SBY dalam mencerdaskan bangsa ini dan mencabut sampai akar-akarnya mental bobrok bangsa ini,bukan malah mempertahankannya demi kekuasaan, rakyat bukanlah milik status quo apalagi menjadi pendukungnya, rakyat adalah milik perubahan karena dinamika hidup selalu berubah, itulah gaya kepemimpinan baru yang seharusnya diimpikan.

Demokrasi Menggugat; wujud transformasi demokrasi bagi Indonesia.

Posted by Gilang Ramadhan on , under | komentar (0)




Oleh: Gilang Ramadhan IP 2005
Tak aneh jika kita melihat sekelompok orang meneriakan slogan-slogan keadilan, demokrasi, kesejahteraan, dll. Sambil merusak pagar, membakar ban, melempari petugas bahkan melakukan penjarahan dan perusuhan. Lalu apakah itu yang disebut demokratis? kemudian sekelompok mahasiswa yang notabene sebagai the opinion maker melempar isu kepermukaan tanpa tahu pasti kebenaran dibaliknya, tanpa investigasi dan penggalian fakta. Apakah itu yang disebut demokratis? Juga para decession maker yang memaksakan kebijakannya tanpa melalui proses referendum yang mengaffirmasikan concern politiknya saja tanpa mengonsiderasikan kepentingan umum. Saat pesta demokrasi selalu diwarnai dengan kerusuhan dan pengrusakan fasilitas public karena calon pemimpin pilihannya kalah. Apakah itu yang disebut demokratis? Lalu apa sisi yang baik dari demokrasi sehingga Negara-negara maju begitu mengagung-agungkannya? Ataukah bangsa Indonesia sendiri yang terlalu tidak menghargai proses, sehingga hanya menginginkan sesuatu yang instan?
Menurut Nurcholis Madjid pada jaman Orde Baru yang berezim otoriter Indonesia telah mencapai stabilitas social politik, dengan merujuk pada ilmuwan politik Belanda Arend Lijphart, bahwa stabilitas politik secara otomatis pasti memiliki watak demokratis sebab stabilitas yang tidak demokratis tidak lain hanyalah penampakan luar saja, yang didalamnya mengandung bibit-bibit kekacauan ibarat bom waktu (Madjid 1985a: 12). Di dalam pendapatnya Cak Nur lebih menekankan adanya stabilitas politik sebagai suatu prasyarat dari terciptanya demokrasi. Tetapi juga keadaan stabil atau keajegan yang dipaksakan juga akan menimbulkan kekacauan di masa datang seperti bom waktu. Jadi, stabilitas social politik dan demokrasi menurut penulis malah tidak bisa dipisahkan, demokrasi adalah masalah selera apabila kepentingan sudah terpenuhi maka dengan sendirinya stabilitas tersebut akan muncul, begitu juga dengan stabilitas social politik akan terwujud apabila demokrasi berjalan dengan baik.
Demokrasi disusun oleh dua pilar yang tak terpisahkan yaitu hukum dan ekonomi, kepastian hukum dapat terpenuhi apabila keadaan ekonomi di Negara tersebut stabil, Ekonom Didin S. Damanhuri menyatakan “Model social –demokrat dapat merupakan referensi penting dalam rangka demokratisasi pemikiran ekonomi sekaligus mendorong demokrasi ekonomi dalam arti nyata di negeri kita Indonesia tercinta (Damanhuri 1990: 87). Keadaan ekonomi tidak dapat stabil begitu saja tanpa adanya kepastian hukum, seperti peraturan tentang investasi, peraturan tentang kebijakan pasar (market policy), dll.
Sebenarnya yang menjadi masalah di Indonesia bukan pada demokrasi dalam arti luas, tetapi demokrasi dalam arti sempit dalam artian mengikuti implementasi demokrasi dari Negara lain. Sebagai contoh para aktivis berpendapat bahwa dengan adanya people power seperti di Filipina yang melakukan revolusi berdarah dapat mendirikan demokrasi yang sebenarnya ke dalam tempatnya yang tertinggi yaitu kekuasaan rakyat, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dengan pemikiran seperti itu maka kekerasan menjadi hal yang wajar dalam mewujudkan demokrasi, yang mengarah pada brutalisme. Padahal itu adalah suatu fase yaitu tahap penggulingan rezim yang otoriter, tetapi membangun demokrasi adalah sesuatu hal yang sangat berbeda. Pengalaman Negara lain dapat pula memberikan ide yang terkait dengan fase ini dalam proses demokratisasi, tetapi tidak selazim ide-ide tentang penggulingan otoriterianisme, dan ide-ide semacam itu tidak sesuai dengan tuntutan gerakan prodemokrasi di Indonesia.
Menurut Deliar Noer, tidak ada model demokrasi asing yang cocok bagi Indonesia, tetapi prinsip-prinsip tertentu (misalnya pemerintahan tanpa korupsi, pers bebas, dan HAM) dapat dipinjam dari berbagai Negara. Indonesia harus memilih apa yang cocok bagi negeri ini (wawancara 17/05/94) menurut Arief Budiman seorang demokratik sosialis, beberapa pelajaran umum dapat diambil dari Negara-negara lain, tetapi tidak mungkin meniru, misalnya peristiwa di Filipina dan Thailand. Masyarakat Indonesia jauh lebih Heterogen (menyangkut etnis, agama, kelas) dibanding Negara-negara lainnya di Asia Tenggara. jadi, demokrasi seharusnya merupakan sebuah manifestasi dari kebudayaan bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kebangsaan, karena demokrasi merupakan referendum bersama, apabila musyawarah dirasa paling merepresentasikan kepentingan-kepentingan bersama maka itulah demokrasi karena demokrasi itu apa yang dirasa cocok dan sesuai selera, tanpa meninggalkan belajar dari pengalaman Negara-negara lain dan bukan dengan meniru. Demokrasi hanyalah sebuah rename bukan redesain dari budaya yang telah mengakar di nusantara sejak lama, maka kekerasan, pelanggaran HAM, otoriterianisme, dan anomali-anomali lainnya yang akhir-akhir ini berkembang di Indonesia terjadi bukan karena kesalahan demokrasinya, tetapi karena kita telah melupakan nilai-nilai penting yang seharusnya menjadi pondasi bagi berkembangnya demokrasi di Indonesia.

Bertumpu pada batu, berkaca pada hidup

Posted by Gilang Ramadhan on , under | komentar (0)



Guys! Tentu kalian semua tau dan pernah melihat batu, entah di jalan, di sungai atau mungkin terselip di balik sandal yang kalian pakai?, ya itulah batu nankeras, hitam, dengan bentuk yang tak pernah simetris dan selalu di balik bayangan manusia alias gak pernah diperhatiin. Kalo kita sedang jalan kaki tentu setiap hari pasti kita menginjak batu dari berbagai ukuran, mulai dari yang kecil atau yang sudah dimodifikasi (semacam paving block) sampai yang paling besar (di perut bumi), tapi guys pernah gak sih kalian perhatiin walau sekejap (ciee..) apa jadinya hidup tanpa ada batu? Wah pasti gak kebayang friend. Tau gak sih? Bumi itu sebagian besar terdiri atas batuan yang berlapis –lapis, mulai dari lapisan lunak sampai lapisan yang keras yang kita injak sehari-hari, trus batu pula merupakan bahan yang paling berperan penting dalam struktur materi bangunan apa pun mulai dari rumah, jalan, gedung bertingkat, jembatan sampai patok kuburan (hiiii..), kalian juga tau kenapa di sungai banyak terdapat batu-batu? Ternyata jika di sungai gak ada batunya alias plong aja erosi yang disebabkan arus sungai akan membawa tanah yang berada di dasar sungai menuju lautan tanpa ada penyaringnya karena menurut hukum fluida, cairan yang mengalir akan menyebabkan arus yang menimbulkan adanya gesekan pada dasar sungai dan wal hasil ga kebayang deh gimana nasib daratan dan sirkulasi air yang terjadi di dalamnya dan gak akan ada bagian nosel di sungai yang biasa dijadikan manusia sebagai tempat yang cocok untuk bendungan karena memiliki aliran deras yang cocok untuk menggerakan turbin dari generator pembangkit listrik, termasuk biota ikan salmon yang bernaung pada batu saat musim bertelur tiba, pasti mengerikan jadinya bro!
Itulah guys beberapa kegunaan dari batu, lho kita koq jadi ngomongin batu?!? Bukan itu yang menjadi intinya, kalo gitu aja mah jadi belajar geologi , tapi sekarang coba kalian pikir dulu deh, apakah batu pernah mengeluh pada Tuhan karena selalu dieksplorasi oleh manusia setiap harinya, tanpa manusia pernah sadar siapa itu batu, tentu tidak kan? Batu tetap saja diinjak tanpa rasa pri-kebatu-an dan tidak diperhatikan, tetap hitam dan tetap berbentuk asimetris semaunya.
Tapi saya nulis ini bukan agar kalian tiba-tiba jadi mencintai batu, menimang-nimangnya, apalagi memikirkannya, bukan itu bro! batu tetaplah batu. Nah sekarang kita ke permasalahan tentang korelasi kurva di atas dengan pokok bahasan kita yaitu merefleksikan fenomena batu tadi dengan hidup kita, the question is, sanggupkah kita yang sudah merasa hebat bisa seperti batu yang mempunyai filosofi “rendah tetapi tinggi”? pujangga arab pernah berkata: “orang yang tawadu’ bagai genangan air yang selalu berada di bawah, tetapi pada hakikatnya dapat memantulkan cahaya bintang yang sebenarnya berada di tempat yang sangat tinggi, dan orang sombong bagaikan asap yang membumbung tinggi tetapi hakikatnya akan hilang kemudian”. Tuh, jadi tambah kacau kan? Dengan sombong memang kita bakal kelihatan hebat tetapi sesungguhnya semua akan menghilang musnah dan jatuh dalam kehinaan alias pongah, tapi lihat manusia yang memiliki sifat tawadu’ dia selalu menganggap dirinya bukan apa-apa dibanding yang lain padahal dialah the real star! Not a smoke which lost in the sky. Selain mengajarkan tawadu’, ciptaan tuhan itu (batu.red) juga mengajarkan kita arti berkorban tanpa rasa pamrih. Bro, please deh sebenernya apa yang kita harapkan dari pamrih? Pujian? Di elu-elukan? Ah itu mah Cuma sementara, ntar juga orang kembali gak merhatiin kita, gak mungkin kan orang mau memuji kita setiap hari sepanjang masa? Apa orang yang ditinggikan karena kredibilitasnya? Itu pun tidak berlangsung lama –seperti fenomena AA Gym—karena hakikatnya gak ada yang kekal abadi kecuali orang-orang yang diberikan julukan oleh tuhan dengan title “ikhlas”, pasti abadi dan sepanjang masa.
Jadi fren, berlomba-lombalah kalian dalam kebaikan tanpa memikirkan kompensasinya (kecuali kerja, kudu digaji atuh!) karena semua itu adalah benih yang kita tanam untuk kita panen di akhirat kelak. Dan ingat! Tetap tawadu’ sehebat apa pun kalian, karena tidak akan masuk surga orang yang di dalam hatinya sebesar biji zarrah (debu) dari kesombongan, karena orang sombong termasuk orang yang mendustakan agama, karena Tuhanlah yang patut sombong, bukan kita! Terakhir, transformasikan dirimu guys, semoga kita termasuk orang yang senantiasa dibukakan pintu hatinya (amien).

hidup dan berbuat

Posted by Gilang Ramadhan on Senin, 02 November 2009 , under | komentar (0)




saat kumenatap jauh untuk berjuang
bahkan tatapan itu terhalang oleh bola mataku yang minus
saat kumenatap dekat tuk berhenti sejenak
benakku menghalangiku karena waktu terus mengejar
hidupku selalu berliku tanya tentang apa yang akan terjadi
jika aku berbuat sesuatu
atau tidak berbuat sesuatu
namun kuyakin tak ada yang sia-sia dari perbuatan
entah itu salah ataupun benar
itu adalah akibat
dan akibat itu mendekati suratan yang kita miliki masing-masing saat di lauh mahfuz
apa itu suratan?mengapa itu sangat penting?
suratan bukanlah segalanya namun pasti
seperti kau yang menaiki kereta api
kau menentukan sendiri kemana kau akan pergi
namun kereta yang kau tumpangi tak bisa melanggar jalurnya
itulah suratan....
saat kau berjalan dari rumah menuju stasiun kereta
itulah perbuatan....
mana yang kau pilih?
untuk berbuat atau terus mempertanyakan jalan yang akan kau pilih