Job Career Vacancy
Latest News

Demokrasi Menggugat; wujud transformasi demokrasi bagi Indonesia.

Selasa, 17 November 2009 , Posted by Gilang Ramadhan at 22.01


Oleh: Gilang Ramadhan IP 2005
Tak aneh jika kita melihat sekelompok orang meneriakan slogan-slogan keadilan, demokrasi, kesejahteraan, dll. Sambil merusak pagar, membakar ban, melempari petugas bahkan melakukan penjarahan dan perusuhan. Lalu apakah itu yang disebut demokratis? kemudian sekelompok mahasiswa yang notabene sebagai the opinion maker melempar isu kepermukaan tanpa tahu pasti kebenaran dibaliknya, tanpa investigasi dan penggalian fakta. Apakah itu yang disebut demokratis? Juga para decession maker yang memaksakan kebijakannya tanpa melalui proses referendum yang mengaffirmasikan concern politiknya saja tanpa mengonsiderasikan kepentingan umum. Saat pesta demokrasi selalu diwarnai dengan kerusuhan dan pengrusakan fasilitas public karena calon pemimpin pilihannya kalah. Apakah itu yang disebut demokratis? Lalu apa sisi yang baik dari demokrasi sehingga Negara-negara maju begitu mengagung-agungkannya? Ataukah bangsa Indonesia sendiri yang terlalu tidak menghargai proses, sehingga hanya menginginkan sesuatu yang instan?
Menurut Nurcholis Madjid pada jaman Orde Baru yang berezim otoriter Indonesia telah mencapai stabilitas social politik, dengan merujuk pada ilmuwan politik Belanda Arend Lijphart, bahwa stabilitas politik secara otomatis pasti memiliki watak demokratis sebab stabilitas yang tidak demokratis tidak lain hanyalah penampakan luar saja, yang didalamnya mengandung bibit-bibit kekacauan ibarat bom waktu (Madjid 1985a: 12). Di dalam pendapatnya Cak Nur lebih menekankan adanya stabilitas politik sebagai suatu prasyarat dari terciptanya demokrasi. Tetapi juga keadaan stabil atau keajegan yang dipaksakan juga akan menimbulkan kekacauan di masa datang seperti bom waktu. Jadi, stabilitas social politik dan demokrasi menurut penulis malah tidak bisa dipisahkan, demokrasi adalah masalah selera apabila kepentingan sudah terpenuhi maka dengan sendirinya stabilitas tersebut akan muncul, begitu juga dengan stabilitas social politik akan terwujud apabila demokrasi berjalan dengan baik.
Demokrasi disusun oleh dua pilar yang tak terpisahkan yaitu hukum dan ekonomi, kepastian hukum dapat terpenuhi apabila keadaan ekonomi di Negara tersebut stabil, Ekonom Didin S. Damanhuri menyatakan “Model social –demokrat dapat merupakan referensi penting dalam rangka demokratisasi pemikiran ekonomi sekaligus mendorong demokrasi ekonomi dalam arti nyata di negeri kita Indonesia tercinta (Damanhuri 1990: 87). Keadaan ekonomi tidak dapat stabil begitu saja tanpa adanya kepastian hukum, seperti peraturan tentang investasi, peraturan tentang kebijakan pasar (market policy), dll.
Sebenarnya yang menjadi masalah di Indonesia bukan pada demokrasi dalam arti luas, tetapi demokrasi dalam arti sempit dalam artian mengikuti implementasi demokrasi dari Negara lain. Sebagai contoh para aktivis berpendapat bahwa dengan adanya people power seperti di Filipina yang melakukan revolusi berdarah dapat mendirikan demokrasi yang sebenarnya ke dalam tempatnya yang tertinggi yaitu kekuasaan rakyat, dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Dengan pemikiran seperti itu maka kekerasan menjadi hal yang wajar dalam mewujudkan demokrasi, yang mengarah pada brutalisme. Padahal itu adalah suatu fase yaitu tahap penggulingan rezim yang otoriter, tetapi membangun demokrasi adalah sesuatu hal yang sangat berbeda. Pengalaman Negara lain dapat pula memberikan ide yang terkait dengan fase ini dalam proses demokratisasi, tetapi tidak selazim ide-ide tentang penggulingan otoriterianisme, dan ide-ide semacam itu tidak sesuai dengan tuntutan gerakan prodemokrasi di Indonesia.
Menurut Deliar Noer, tidak ada model demokrasi asing yang cocok bagi Indonesia, tetapi prinsip-prinsip tertentu (misalnya pemerintahan tanpa korupsi, pers bebas, dan HAM) dapat dipinjam dari berbagai Negara. Indonesia harus memilih apa yang cocok bagi negeri ini (wawancara 17/05/94) menurut Arief Budiman seorang demokratik sosialis, beberapa pelajaran umum dapat diambil dari Negara-negara lain, tetapi tidak mungkin meniru, misalnya peristiwa di Filipina dan Thailand. Masyarakat Indonesia jauh lebih Heterogen (menyangkut etnis, agama, kelas) dibanding Negara-negara lainnya di Asia Tenggara. jadi, demokrasi seharusnya merupakan sebuah manifestasi dari kebudayaan bangsa yang menjunjung tinggi nilai-nilai luhur kebangsaan, karena demokrasi merupakan referendum bersama, apabila musyawarah dirasa paling merepresentasikan kepentingan-kepentingan bersama maka itulah demokrasi karena demokrasi itu apa yang dirasa cocok dan sesuai selera, tanpa meninggalkan belajar dari pengalaman Negara-negara lain dan bukan dengan meniru. Demokrasi hanyalah sebuah rename bukan redesain dari budaya yang telah mengakar di nusantara sejak lama, maka kekerasan, pelanggaran HAM, otoriterianisme, dan anomali-anomali lainnya yang akhir-akhir ini berkembang di Indonesia terjadi bukan karena kesalahan demokrasinya, tetapi karena kita telah melupakan nilai-nilai penting yang seharusnya menjadi pondasi bagi berkembangnya demokrasi di Indonesia.

Currently have 0 komentar:

Leave a Reply

Posting Komentar