Job Career Vacancy
Latest News

Proses Menuju Negara Federal, Bergulirkah?

Selasa, 17 November 2009 , Posted by Gilang Ramadhan at 22.16


Ahmad Mujahid Darlan dalam tulisannya yang berjudul “Relevankah Federalisme di Indonesia lebih menekankan pada pokok pikirannya, ia lebih mengeksplorasi gagasan tentang Negara federal dari dirinya sendiri, menurut saya hal-hal yang dikemukakan Ahmad dalam tulisannya lebih bersifat doktrin tentang Negara kesatuan yang “mustahil” untuk dirubah. Ada ungkapan dari ahmad yang menurut saya sangat menarik, yaitu pernyataan beliau bahwa Golkar pada saat itu hanyalah sebagai kendaraan politik yang ditunggangi peguasa saat orde baru, jadi Golkar bukanlah yang seharusnya disalahkan atas masa kelam orde baru. Jika diperhatikan golkar memanglah hanya sebuah organisasi, dalam artian hanya sebuah benda mati tanpa ada inisiator dan penggeraknya, tetapi kenyataannya disadari atau tidak Golkar memang menikmati hasil dari orde baru, kita lihat dari kenyataan bahwa Golkar memiliki dana operasional yang paling basar dibanding parpol lainnya. Jadi menurut saya adanya dikotomi antara Golkar orde baru dengan pasca reformasi merupakan pendapat dari Ahmad yang salah.
Lebih lanjut Ahmad Mujahid melihat sejarah tentang konsep Negara federal yang diterapkan Indonesia pada tahun 1949 sebagai suatu kesalahan dan amat bodoh apabila hal itu diulang lagi, padahal lebih dalam lagi pada masa itu para “founding father” Negara kita sengaja membentuk Negara federal hanya untuk mendapatkan pengakuan dari belanda atas kedaulatan Indonesia, jadi hanya merupakan sebuah batu loncatan dan bukan sebuah niat yang serius untuk belajar “try and error” dari sebuah bentuk Negara, jadi wajar apabila penerapan Negara federal pada saat itu tidak berhasil.
Sebenanya apabila dilihat dari sejarah pembentukannya antara Negara federal dengan Negara kesatuan. Negara federal berangkat dari satu asumsi dasar bahwa ia dibentuk oleh sejumlah Negara atau wilayah independen, yang sejak awal memiliki kedaulatan atau semacam kedaulatan pada dirinya masing-masing Negara atau wilayah-wilayah itu yang kemudian bersepakat membentuk sebuah federal. Negara dan wilayah pendiri federasi tersebut kemudian berganti status menjadi Negara bagian atau wilayah administrasi dengan nama tertentu dalam lingkungan federal.
Dalam model Negara kesatuan, asumsi dasarnya berbeda secara diametrik dari Negara federal. Formasi Negara kesatuan dideklarasikan saat kemerdekaan oleh para pendiri Negara dengan mengklaim seluruh wilayahnya sebagai bagian dari satu Negara, karena diasumsikan bahwa semua wilayah yang termasuk di wilayahnya bukanlah bagian-bagian wilayah yang bersifat independen. Kemudian baru negaralah yang membentuk wilayah-wilayahnya sendiri.
Dari sejarah pembentukan Negara federal dan Negara kesatuan di atas, secara tegas Indonesia merupakan Negara kesatuan yang mutlak dari awalnya, karena Indonesia terbentuk dari proklamasi yang mengklaim seluruh wilayah nusantara sebagai wilayah dari NKRI, kemudian setelah itu barulah dibentuk wilayah-wilayah administratif yang terintegrasi dalam suatu Negara kesatuan, namun tidak sesingkat itu dalam melihat sejarah bangsa ini, menurut Ahmad Mujahid dalam tulisannya beliau melihat dari sejarah Indonesia bahwa sebelum Belanda datang ke Indonesia, Indonesia terdiri dari barbagai kerajaan yang diantaranya kerajaan Majapahit dan Sriwijaya yang memiliki wilayah yang bahkan lebih luas dari wilayah nusantara. Secara sempit Ahmad Mujahid memaknai wilayah kerajaan Majapahit dan Sriwijaya merupakan sebuah “Negara kesatuan”. Padahal sebenarnya wilayah-wilayah yang dikuasai oleh Majapahit dan Sriwijaya saat itu tadinya merupakan kerajaan-kerajaan kecil yang ditaklukkan, dan kemudian mengakui bahwa kerajaan kecil tersebut masuk ke dalam wilayah otoritas Majapahit atau Sriwijaya, tetapi kerajaan-kerajaan kecil tersebut masih memiliki kedaulatan untuk menjalankan pemerintahannya sampai menjalankan urusan pertahanan dan keamanannya sendiri, serta hanya menyerahkan upeti kepada kerajaan pusat yakni majapahit dan Sriwijaya sebagai tanda takluk. Apabila ditelaah lagi, sebenarya konsep kerajaan pada masa itu sudah mencerminkan pemerintahan yang federalistik karena tidak ada undang-undang atau peraturan-peraturan yang secara tegas digariskan oleh kerajaan yang besar untuk mengatur wilayahnya yang terdiri dari kerajaan-kerajaan kecil secara keseluruhan. Kerajaan-kerajaan kecil tersebut tetap memiliki peraturannya sendiri serta proses penghakimannya pun dilakukan di kerajaan kecil tersebut. Wujud persatuan kerajaan-kerajaan kecil tersebut ke dalam kerajaan besar yang berkuasa hanya sebatas upeti dan pengakuan secara lisan bahwa kerajaan kecil tersebut tunduk pada kerajaan besar yang berkuasa.
Berbeda dengan pandangan Ahmad Mujahid, Ni’matul Huda mengungkapkan dalam tulisannya yang berjudul “Sejarah Ketatanegaraan Indonesia, Pilihan atas Federalisme dan Negara Kesatuan” bahwa konsep Negara federal mungkin saja dapat diterapkan dalam Negara Indonesia, hanya saja pemikirannya tidak langsung tertuju pada Negara federal, tetapi bergulir sebagai pemenuhan kebutuhan. Menurutnya konsep desentralisasi yang memungkinkan otonomi pada daerah untuk melaksanakan pemerintahannya secara mandiri termasuk mengelola sumber daya alamnya sendiri dapat merendam untuk sementara hasrat untuk membuat Indonesia menjadi sebuah Negara federal. Selama ini munculnya wacana untuk mengganti bentuk Negara Indonesia menjadi Negara federal sebenarnya muncul karena adanya kesalahan orde baru yang membuat paradigma baru, bahwa Negara kesatuan merupakan Negara sentralstik yang otoriter. Harun Al Rasyid mengatakan bahwa munculnya gagasan Negara serikat dipicu oleh sentralisasi pemerintahan yang dianggap berlebihan, juga hubungan antara pusat dengan daerah yang tidak adil khususnya masalah pembagian kekayaan alam yang dimiliki oleh daerah. Hal penyelenggaraan Negara kesatuan yang bersifat sentralistik bertentangan dengan pengertian Negara kesatuan menurut C.F. Strong yang menganggap Negara kesatuan kekuasaannya terletak pada pemerintah pusat namun dapat dibagi kepada pemerintah daerah untuk menyelenggarakan otonomi daerah (desentralisasi).
Lahirnya UU No.22 Tahun 1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No.25 Tahun 1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah yang diamandemen menjadi UU No.32 Tahun 2004 tentang pemerintahan daerah dan UU No.33 tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dengan daerah menurut Ni’matul Huda merupakan angin penyegar yang dapat meredam gejolak pemikiran menuju Negara Indonesia yang federal. Menurutnya selama ini sebelum terbitnya UU tentang otonomi daerah, pelaksanaan otda selalu mendapatkan kendala 3P (personil,pembiayaan dan peralatan), pusat hanya menyerahkan urusan ke daerah sedangkan unsur pendukungnya (3P) tidak diserahkan kepada daerah sehingga menambah beban daerah. Kini pasca UU No.22 Tahun 1999 unsur-unsur 3P sepenuhnya diserahkan kepada daerah untuk mengelolanya, sehingga potensi daerah untuk maju tidak akan terhambat oleh pusat.
Saya sangat setuju akan pendapat Ni’matul Huda bahwa kita jangan dulu terburu-buru untuk mengubah bentuk Negara kita menjadi Negara federal, karena tentu saja partisipasi politik dari tiap-tiap daerah di Indonesia masih berbeda-beda dan cenderung rendah, serta pengalaman dan SDM yang masih belum memadai untuk menghadapi persaingan pada Negara federal. Anggap saja otda seluas-luasnya saat ini yang banyak pakar mengatakan sebagai “semi federal” sebagai training menuju demokratisasi Indonesia ke arah yang lebih baik untuk Indonesia yang lebih sejahtera.

Currently have 0 komentar:

Leave a Reply

Posting Komentar