Job Career Vacancy
Latest News

Desentralisasi di Indonesia, Sebuah Keterpaksaan?

Selasa, 17 November 2009 , Posted by Gilang Ramadhan at 22.08


Dari pandangan Pratikno, seorang dosen dari Jurusan Ilmu pemerintahan FISIPOL UGM dari tulisannya yang berjudul “ Desentralisasi, Pilihan Yang Tidak Pernah Final ” mengungkapkan desentralisasi merupakan sebuah keterpaksaan, karena yang menelurkanya (pemerintah) pada masa itu mencoba meloloskan diri dari tekanan masyarakat dan tokoh politik yang sudah muak dengan pemerintahan gaya sentralistik orde baru. Saya sangat setuju dengan pendapat penulis yang mengungkapkan pemerintahan Habiebie sudah kehilangan sumber-sumber kekuasaan dan kewibawaan politik dari Soeharto sehingga dengan mudah dapat mengeluarkan UU No.22 Th.1999 tentang pemerintahan daerah dan UU No.25 Th.1999 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah, namun ada pendapat penulis yang saya kurang setuju yang seakan-akan menyatakan bahwa semua UU sebelum era reformasi itu substansinya buruk termasuk UU No.5 Th. 1974, padahal dalam UU tersebut sudah diperkenalkan konsep desentralisasi dan otonomi daerah hanya saja pada tataran aplikasinya benar-benar jauh arang dari api.
Pratikno dalam tulisannya tentang desentalisasi di Indonesia sangat mengedepankan pada argumennya yang menurut saya tajam tapi kurang menambahkan data dan fakta sehingga sangat sulit untuk menyandingkannya dengan fenomena apa yang sesungguhnya terjadi pada masa itu. Apabila berbicara tentang keburukan dari pemerintahan Orba dan Orla saya sangat setuju dengan pendapat beliau yang mengatakan bahwa Orba sangat sentralistik dalam menerapkan sistem pemerintahan dan keuangan daerah dan sangat jawa sentris sehingga timbul dikotomi antara Jawa dan luar Jawa dan menurutnya dua permasalahan tadi merupakan kelanjutan dari masalah yang pernah ada dan belum terselesaikan pada era Soekarno.
Namun saya kurang setuju pendapat beliau yang mengatakan bahwa permasalahan militer telah selesai pada masa orba, menurut saya permasalahan militer justru lebih pelik pada masa orba dimana pada era soekarno militer dapat dikendalikan di bawah panglima tertinggi yaitu soekarno dan memiliki loyalitas yang tinggi terhadap negara karena paradigma yang dibentuk militer saat itu adalah “bagaimana mempertahankan kedaulatan negara” yang timbul akibat panjangnya masa Indonesia dijajah oleh negara lain, sedangkan paradigma militeryang terbentuk pada masa orba yakni “bagaimana mencapai dan mempertahankan kekuasaan” karena penerapan sistem dwi fungsi ABRI yang melibatkan militer dengan kehidupan politik sehingga tugas mempertahankan negara justru malah terbengkalai, akibatnya loyalitas “semu” dari militer terhadap negara melahirkan bibit-bibit arogansi militer dalam struktur sosial di masyarakat. Militer secara strata sosial menganggap dirinya lebih tinggi dan lebih terhormat dari sipil, banyak kalangan militer yang menjadi pebisnis baik legal maupun illegal serta banyak dari kalangan petinggi militer yang lebih memilih duduk di kursi MPR daripada mengatur prajuritnya yang tentu saja membuat rakyat Indonesia semakin menjadi bulan-bulanan dari pemerintah tidak hanya di golongan elit politik sipil melainkan juga dari golongan elit politik militer.
Dalam pandangan saya, desentralisasi merupakan satu paket dari negara kesatuan, dalam pandangan C.F. Strong yang mengungkapkan bahwa negara kesatuan adalah bentuk negara dimana wewenang legislatif tertinggi dipusatkan dalam satu badan legislatif nasional/pusat. Kekuasaan terletak pada pemerintah pusat dan tidak pada pemerintah daerah, dan pemerintah pusat mempunyai wewenang untuk menyerahkan sebagian kekuasaannya kepada pemerintah daerah berdasarkan hak otonomi (desentralisasi). Jadi apabila ada pendapat yang menyatakan bahwa negara Indonesia pada masa pemerintaha orde lama dan orde baru tidak ada undang-undang yang mengatur tentang desentralisasi adalah salah, pada UU No.1 Th. 1957 dan UU No. 5 Th. 1974 semuanya terdapat pasal yang mengatur tentang desentralisasi. Hanya saja memang diakui pada kedua era tersebut penerapannya masih berpola sentralistik dan tentu saja inkonstitusional.
Namun perlu dipahami bahwa penerapan desentralisasi pada suatu negara juga merupakan sebuah kebutuhan dan tidak absolut harus diterapkan pada suatu negara. Saya paham sekali pada masa-masa awal pemerintahan Soekarno belum ada UU yang mengatur tentang desentralisasi sehingga UU tersebut baru lahir pada tahun 1957, karena pada masa itu negara indonesia merupakan negara yang baru merdeka dan sangat rentan sekali terjadinya disintegrasi bangsa, karenanya pencitraan pemerintahan nasional yang berwibawa sangat penting untuk meyakinkan daerah bahwa pemerintah yang berkuasa benar-benar layak untuk memimpin bangsa sehingga pola sentralistik saat itu dirasakan perlu, namun apabila niat yang melandasi lahirnya sentralistik mulai berorientasi untuk meraup sebesar-besarnya kekayaan daerah sudah menjadi buruk dan sangat menyalahi kaidah dari konsep negara kesatuan itu sendiri. Desentralisasi menjadi sangat fundamental apabila daerah sudah dapat mengembangkan potensinya sendiri sehingga otonomi daerah menjadi penting untuk dilaksanakan, apabila tidak dilaksanakan tentu saja dengan perlahan akan membunuh karakter kepemimpinan daerah, contohnya saja pada era reformasi sekarang yang sudah menerapkan pemilihan kepala daerah secara langsung, tidak sedikit kepala daerah yang notabene adalah putra daerah dan ditelurkan dari proses demokrasi yang tidak kompeten dalam memimpin daerahnya, tentu saja hal ini terjadi karena adanya ”cultural shock” dari penunjukan kepala daerah yang mendiskreditkan putra daerah menjadi pemilihan kepala daerah yang ”mengharuskan” putra daerah untuk maju walaupun ”tanpa persiapan” yang matang.
Pandangan pesimistik dari Pratikno sangat timbul pada pendapat beliau yang mengatakan bahwa tidak ada yang final dalam politik, seakan-akan menyiratkan politik merupakan hal yang sangat absurb dan tidak akan pernah selesai bahkan mungkin tidak memiliki tujuan yang jelas karena tidak final, padahal politik merupakan suatu proses yang melibatkan semua elemen bangsa yang bertujuan untuk menyejahterakan kehidupan bangsa dan negara, dan bukan untuk menyejahterakan kelompok dan kepentingan tertentu, selama politik masih digunakan untuk meraih kesejahteraan kelompok dan golongan tertentu, tentu saja dapat dipastikan bahwa pendapat dari penulis bahwa tidak ada yang final dalam politik adalah ’absolutely right’ dan benar adanya karena kebutuhan manusia tidaklah terbatas. Menurut saya politik dapat menjadi final apabila sudah dapat memenuhi kebutuhan masyarakat banyak setidaknya memenuhi hukum Gossen 1 yang mengungkapkan bahwa kebutuhan apabila terpenuhi secara terus menerus maka indeks kepuasan akan mencapai titik nol kembali atau telah mencapai ’break event point’, dan itu tidaklah mustahil apabila kebijakan politik memiliki tujuan yang jelas dan bersifat final.

Currently have 0 komentar:

Leave a Reply

Posting Komentar